Pak Somad, itulah nama yang kudengar, setelah nyaris tiga kali kutanya ‘Siapa nama Bapak?’. Ya, tidak heran bila kini indera pendengaran Pak Somad terganggu. Delapan tahun sudah Pak Somad habiskan waktunya bercengkraman dengan jalanan, mengatur kerapian kendaraan yang tanpa bantuannya, kendaraan-kendaraan itu akan parkir sembarangan dan menimbulkan kemacetan. Bukan waktu yang sebentar memang. Namun, kau akan percaya bahwa sudah selama itu beliau bekerja sebagai tukang parkir di Jalan A.H Nasution. Kau dapat melihat dari keadaannya. Warna kulit yang hitam legam akibat seharian didera sinar matahari dan asap knalpot yang mengerubunginya dan indera pendengaran yang kini tak berfungsi dengan baik akibat kebisingan kota yang tak hentinya beraktivitas.
Tak lama ku berkenalan dengan bapak yang selalu tampak olehku dengan menggunakan pakaian serba oren itu, yang sempat mengingatkanku pada tokoh-tokoh kartun diserial komik jepang yang para tokohnya tak pernah berganti pakaian. Tak lupa topi yang warnanya serasi dengan warna pakaiannya, sedikit membantu melindungi Pak Somad dari terpaan sinar matahari. Hujan yang kala itu mengguyur kota bandung membuatku bergegas meninggalkan Pak Somad yang masih setia dengan pekerjaannya. Dengan senyum ia kembali melanjutkan pekerjaan yang sudah 8 tahun menjadi penopang hidupnya, meski entah berapa uang yang ia dapatkan dari pekerjaannya sebagai tukang parkir ini. Bahkan ia pun tidak mematok dan mengharuskan mereka yang menggunakan jasanya untuk membayar, ia menerima dengan ikhlas, berapapun yang mereka berikan padanya.
Menjadi seorang tukang parkir, tidaklah tanpa resiko. Hal yang membuatku mengenal Pak Somad pun, saat ia hampir tertabrak pengendara motor. Pengendara motor yang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Untung saja Pak Somad dapat menghindar, sehingga ia pun tak tertabrak motor ugal-ugalan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar