Selasa, 24 April 2012


23 Kini
            Siang itu aku pergi ke SMA 23 Bandung. Aku pergi untuk berkumpul bersama teman-teman SMA. Aku berangkat bersama salah satu teman terbaikku. Setibanya aku dan temanku di depan gerbang SMA 23, kami pun langsung berjalan lurus dan kemudian memarkirkan motor di parkiran utama di depan kantin SMA 23 Bandung. Kantin super panjang yang menghadap ke parkiran utama ini terdiri atas 12 warung makanan yang berjajar dengan rapinya. Di depannya disediakan bangku panjang dan kursi yang saling berhadapan. Aku dan temanku pun langsung mendatangi teman-teman yang sudah duduk dengan tidak rapinya di depan warung no 4. Kami pun langsung membaur dengan yang lain. Bersalaman dengan teman pria dan berpelukan dengan teman wanita. Bercerita mengenai kehidupan baru kami setelah keluar SMA. Mengenang kembali masa-masa indah saat SMA. Bermain kartu dan bercanda bersama dengan riangnya.
            Tidak terasa saat itu waktu menunjukan pukul 1 siang. Aku dan teman terbaikku pun bergegas pergi ke mushala sekolah yang berada di dalam. Kami pun berjalan menuju pintu masuk yang berada di pojok kanan sekolah. Adapun pintu masuk utama yang berada di tengah sekolah, namun pintu itu lebih sering terkunci. Setelah melewati pintu masuk, kami belok ke arah kiri mengikuti jalan. Kulihat di sebelah kanan, gedung 3 yang dulu hanya berlantai 2 kini telah bertambah tinggi 1 lantai. Setelah sejenak melihat-lihat, kami pun berjalan memasuki koridor gedung 1 yang kini tampak gagah berdiri setelah kerusakannya. Kerusakan akibat gempa di Tasik tahun 2010 lalu. Untungnya saat itu aku sedang les di rumah guruku. Berbeda dengan 2 orang temanku yang pada saat itu sedang berada di ruang komputer, lantai 3, gedung 1 ini. Mereka merasakan kuatnya guncangan gempa saat itu. Untungnya mereka selamat tanpa mengalami cedera. Setelah mengenang peristiwa gempa itu, kami pun kembali berjalan sambil mengamati lapangan yang kala itu tampak sunyi tanpa kehadiran seorang pun. Bahkan aku pun tak melihat sosok Aryo. Seorang lelaki berketerbelakangan mental yang menghabiskan hidupnya tinggal di SMA 23 Bandung ini. Aryo yang selalu tampak dengan mengenakan baju seragam SMA itu selalu berkeliling mengelilingi SMA 23 Bandung dengan sepeda ontelnya. Terkadang aku pun melihat ia sedang melaksanakan ibadah shalat di mushala sekolah. Mengingatkan aku untuk bergegas pergi ke mushola untuk melaksanakan ibadah shalat. Aku dan temanku pun berjalan mengikuti arah koridor dan belok ke kanan sebelum toilet yang berada di ujung sebelah kanan koridor. Saat hendak berwudhu, aku pun terkejut dengan tempat wudhu baru yang berada di sebelah kananku. Di samping tempatku berwudhu, ada sebuah kolam ikan yang dulu menjadi tempat pemotretan aku dan teman-temanku kala menghabiskan waktu luang sepulang sekolah. Setelah selesai berwudhu dan mengenang kembali tempat pemotretan yang kini telah menjadi kolam ikan itu, aku dan temanku pun berjalan ke mushola yang tepat berada di seberang tempatku berwudhu tadi. Setelah melepas sepatu, aku pun menyeberangi jembatan kecil penghubung antara koridor dan mushola dengan hati-hati agar tidak tercebur ke kolam yang tepat berada di bawah mushola. Suasana hening membuatku dan temanku dapat shalat tanpa gangguan, hingga teman-temanku yang lain datang dan sedikit membuyarkan konsentrasiku. Mereka bertengkar dan saling meunjuk siapa yang akan menjadi imam hinggan ada seseorang yang mengalah dan bersedia untuk menjadi imam. Setelah aku selesai melaksanakan shalat, aku dan teman-temanku pun kembali ke kantin. Aku pergi ke kantin dengan menggunakan sepeda milik temanku. Bermain dan berputar mengelilingi kolam. Bersepeda di koridor gedung 2 yang dulu merupakan tempatku melaksanakan UN. Gedung yang menjadi tempatku menghabiskan detik-detik terakhir di SMA 23 Bandung ini. Setelah itu, aku pun bergegas kembali ke kantin, menemui teman-temanku yang sudah tampak menunggu. Setelah semuanya bekumpul di kantin, kami pun berencana untuk pergi ke BSM. Menghabiskan sisa waktu hari itu.

Bapak Somad

             Pak Somad, itulah nama yang kudengar, setelah nyaris tiga kali kutanya ‘Siapa nama Bapak?’. Ya, tidak heran bila kini indera pendengaran Pak Somad terganggu. Delapan tahun sudah Pak Somad habiskan waktunya bercengkraman dengan jalanan, mengatur kerapian kendaraan yang tanpa bantuannya, kendaraan-kendaraan itu akan parkir sembarangan dan menimbulkan kemacetan. Bukan waktu yang sebentar memang. Namun, kau akan percaya bahwa sudah selama itu beliau bekerja sebagai tukang parkir di Jalan A.H Nasution. Kau dapat melihat dari keadaannya. Warna kulit yang hitam legam akibat seharian didera sinar matahari dan asap knalpot yang mengerubunginya dan indera pendengaran yang kini tak berfungsi dengan baik akibat kebisingan kota yang tak hentinya beraktivitas.
Tak lama ku berkenalan dengan bapak yang selalu tampak olehku dengan menggunakan pakaian serba oren itu, yang sempat mengingatkanku pada tokoh-tokoh kartun diserial komik jepang yang para tokohnya tak pernah berganti pakaian. Tak lupa topi yang warnanya serasi dengan warna pakaiannya, sedikit membantu melindungi Pak Somad dari terpaan sinar matahari. Hujan yang kala itu mengguyur kota bandung membuatku bergegas meninggalkan Pak Somad yang masih setia dengan pekerjaannya. Dengan senyum ia kembali melanjutkan pekerjaan yang sudah 8 tahun menjadi penopang hidupnya, meski entah berapa uang yang ia dapatkan dari pekerjaannya sebagai tukang parkir ini. Bahkan ia pun tidak mematok dan mengharuskan mereka yang menggunakan jasanya untuk membayar, ia menerima dengan ikhlas, berapapun yang mereka berikan padanya.
Menjadi seorang tukang parkir, tidaklah tanpa resiko. Hal yang membuatku mengenal Pak Somad pun, saat ia hampir tertabrak pengendara motor. Pengendara motor yang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Untung saja Pak Somad dapat menghindar, sehingga ia pun tak tertabrak motor ugal-ugalan itu.